Rabu, September 24, 2014

Cerpen. Permintaan sebuah diary



Hari yang melelahkan dengan teriknya matahari dan sapuan udara bercampur debu. Daun-daun berguguran lalu terbang tersapu angin. Terlihat sosok gadis kecil duduk termenung dikursi taman pusat kota. Terdengar teriakan seseorang dari arah belakang gading itu.

“Dilla......” teriakan itu membuat gadis kecil yang ternyata bernama Dilla terkejut dan langsung membalikan badannya.

“Dilla......” teriak orang itu lagi. Setelah ia melihat orang yang memanggilnya itu, mukanya tiba-tiba memerah dan sepertinya ada rasa geram darinya.

“Dilla kamu kemana saja, nak? Ayah mencarimu dari tadi pagi. Kenapa kamu tiba-tiba kabur?” tanya orang itu yang ternyata adalah ayah Dilla sendiri. Dilla tetap diam. Wajahnya tetap murung dangan sedikit tatapan manis. Ayahnya mencoba bicara lagi.

“ayolah nak, beritahu ayah. Kamu mau apa?” Sang ayah terus membujuknya untuk bicara. Perlahan wajah Dilla kelihatan tenang. Dan dia pun mulai berbicara.

“Ayah gak akan pernah tau apa yang kamu inginkan, karena ayah gak pernah perhatiin aku. Ayah gak pernah mengerti dan sampai kapanpun ayah gak akan bisa mewujudkannya.” Ucap Dilla. Ia mengatakan semua yang ada dibenaknya. Perasaan yang dulu ia pendam. Adn perasaan itu sudah memuncak dan tidak akan bisa dikendalikan lagi. Ayah mengerut dan tiba-tiba memarahi Dilla.

“apa sih yang kamu mau? Ayah sudah memberikan semua yang kamu minta. Pakaian, handphone, laptop, accessories, dan barang-barang lainnya yang ayah rasa tidak kamu gunakan. Sekarang kamu maunya apa? Ayah capek..capek..ngeladenin kamu!” mendengar ucapan ayah, sakit hati Dilla menjadi semakin menjadi-jadi. Perlahan air matanya keluar.
Tetes demi tetes menggambarkan kehidupannya yang kelam.

“kalau ayah emang tidak mau ngurusin aku, mending ayah buang saja aku. Biar ayah gak capek dan bisa bersenang-senang dengan kehidupan yang ayah yang gak jelas itu!” semua dia ungkapkan pada saat itu juga dan pergi meninggalkan ayahnya.

“Dilla......” teriak sang ayah dan langsung mengejar Dilla.

Larian panjangnya tiba0tiba berhenti didepan rumah yang tidak layak huni. Langkah kakinya bagaikan tersedot ke rumah itu. Ia mencoba mengetuk rumah itu, namun tak ada seorangpun yang membukakan pintu untuknya. Akhirnya dia mencoba membuka pintu itu. Pintunya tidak terkunci. Ketika ia melihat kedalam rumah itu, betapa terkejutnya ia. Ia melihat wanita tak sadarkan diri dari balik dinding rumah itu.

“Bunda...Bunda..!!” teriaknya dengan air mata yang terus menetes.

“Bunda...Bangun bunda!!Bangun...” Dilla mencoba menyadarkan wanita yang ternyata ibunya. Ibunya Dilla tidak sadarkan diri. Dilla putus asa. Ingin rasanya ia membawa ibunya kerumah sakit. Tapi, ia tidak bisa membawa ibunya sendirian. Dan walaupun ia lakukan itu, yang pasti ibunya akan marah dengannya. Akhirnya, ia merawat ibunya dirumah itu, hingga ibunya sembuh.

Sudah dua hari Dilla tinggal dirumah itu. Karena ia tidak merasa kesepian. Ada dua alasan yang mungkin terjadi dengan ayahnya hingga ayahnya tidak bisa menjemputnya.Satu karena ayahnya tidak tau rumah itu, dan yang kedua karena ayahnya sibuk dengan pekerjaannya.

Dirumah kecil itu, Dilla merasa ceria. Karena ia merasa tidak kesepian. Dirumah itu, ia mempunya temang ngobrol, mencurahkan isi hatinya, berbagi suka dan duka, tertawa bersama, dan hal lainnya. Ketimbang dirumah besar yang sunyi,sepi,senyap,hanya bertemakan harta yang tidak berguna.

Ibu Dilla sudah sembuh. Dilla pun berpamitan dengan ibunya. Ia takut ayahnya akan marah besar kalau ia tak kunjung pulang. Ia merasa tersiksa dengan penceraian kedua orang tuanya yang berakibat buruk terhadap masa depannya. Sesampainya dirumah, Dilla langsung masuk kekamarnya, dan seperti  biasa, ia mencurahkan isi hatinya kedalam buku harian.

Malam harinya, ayah Dilla pun pulang. Ia langsung menuju kamar Dilla apakah Dilla sudah pulang atau belum. Ketika pintu kamar Dilla dibuka, Dilla pun spontan terkejut, ia langsung menyembunyikan buku hariannya.

“Dilla..kamu sudah pulang,nak. Kamu kemana saja kemarin? Kenapa tidak bilang sama ayah?” ayahnya mencoba mengintrogasi Dilla.

“nginep dirumah teman ya.” Jawab Dilla singkat.

“kenapa kamu nginep dirumah teman? Emangnya kamu tidak punya rumah?” tanya ayah pelan.

“Ayah! Aku kesepian dirumah ini. Aku tidak merasa bahagia dengan semua harta yang ayah berikan. Aku hanya minta kasih sayang dan perhatian dari kedua orangtuaku. Dan kalian selalu ada disampingku. Tapi ayah tidak pernah mengerti apa maksudku!” bentak Dilla. Emosinya memuncak drastis.

“terus apa maumu?! Bagaimana ayah bisa tau, kalau kamu gak ngasih tau ayah!!” bentak ayah dengan nada tinggi. Ucapan  ayahnya membuat Dilla merasakan sakit yang luar biasa. Sekarang bukan hanya hatinya yang sakit, tapi seluruh tubuhnya ikut merasakan sakit. Dilla merintih kesakitan dan akhirnya pingsan. Melihat sang anak pingsan, sang ayah langsung membawa Dilla kerumah sakit. Dan langsung ditangani oleh dokter terhandal. Sesaat kemudian, dokter keluar dengan wajah yang kelihatan pucat. Ayah Dilla pun menghampirinya.

“penyakitnya kambuh lagi.” Ucap dokter itu.

“penyakit??” tanya ayah Dilla heran.

“penyakit leukimianya sudah stadium empat!” lanjut dokter.

Seketika itupun ayah Dilla terkejut.

Penyakit leukimia? Stadium empat? Batinnya.

“maaf, dok. Setahu saya, anak saya tidak pernah mengidap penyakit leukimia. Apalagi stadium empat. Saya tidak mengerti maksud anda!” ucap ayah Dilla.

“bapak jangan bercanda. Dilla itu pasien saya. Sudah 2 tahun ia saya tangani. Kok bapak tidak tau masalah ini?” jelas dokter dengan wajah bingung.

Ayah Dilla tidak mengerti apa yang dikatakan dokter tersebut.

Sudah 2 tahun? Tapi kenapa Dilla tidak mengatakannya? Batinnya lagi.

“dok, boleh saya masuk kedalam? Saya ingin menjenguk anak saya” pinta ayah Dilla sambil mengarahkan telunjuknya ke kamar tempat anak semata wayangnya itu dirawat.

Didalam kamar itu, ia melihat seorang gadis kecil yang mempertaruhkan nyawanya melawan sakit yang menderanya. Dimanakah sosok seorang ayah yang ia punya? Mengapa ia tidak tau apa yang terjadi dengan anaknya? Apa batin seorang anak dengan ayahnya tidak terkait? Dengan lamunannya, ia dibuyarkan dengan suara kecil. Ya, suara Dilla.

“ayah...” ucapnya lemah.

“iya, nak.” Ucap ayahnya sambil meneteskan air mata.

“ayah aku mau sesuatu dari aya. Aku mau....” ucapan Dilla semakin lemah. Denyut nadinya semakin cepat. Nafasnya terengah-engah. Dan, pada saat itu, detik itu, Dilla menghembuskan nafas terakhirnya sebelum mengatakan keinginannya. Tangisan langsung meluap dari kedua mata sang ayah. Sampai akhir ayat anaknya, ia tidak pernah mengabulkan permintaan anaknya. Dan sekarang ia tidak tau harus bagaimana. Ia tidak tau apa yang anaknya inginkan. Dan dia tidak tau bagaimana mewujudkannya.

Dua hari setelah kepergian Dilla, sang ayah terus saya berdiam dirumah. Ia sekarang sadar, harta yang paling berharga baginya bukanlah uang tapi keluarga. Ia pun coba mengenal Dilla dengan mencoba masuk kekamar Dilla. Ia membereskan kamar anaknya itu. Ketika ia sedang memberekam tempat tidur, tak sengaja ia menemukan diary dibawah bantal. Ia pun kemudian membuka diary itu dan membecanya.

Dear Diary.....

Aku tau apa yang sedang kualami. Semuanya berubah begitu saja. Penceraian ayah dan bunda telah membuatku larut dalam kegelapan. Aku tidak bisa melihat masa depanku nanti. Sekarang aku mencoba menahan penyakit leukimiaku. Aku tidak ingin mereka mengetahuinya. Aku tidak ingin kedua orangtauku saling menyalahkan. Cukup aku yang merasakan sakit ini.

Dear Diary......

Ya Allah....kenapa kau berikan cobaan ini kepadaku? Kenapa kau berikan sakit kebundaku? Kenapa kau buat ayah melupakanku? Kenapa aku tidak bisa menjadi orang yang lebih sabar lagi untuk menahan cobaan ini.

Ya Allah.... yang hambamu inginkan Cuma satu. Tolong satukan keluarga kami. Tolong ayah satukan bunda agar ayah bisa menjaga bunda. Karena mungkin hamba tidak bisa merawat bunda lagi. Karena mungkin kau akan memanggil hamba. Jadi, mohon persatukan keluarga hamba.

Ayah.....yang Dilla minta selama ini adalah itu. Dilla minta ayah menjemput bunda dirumah kecil dibawah jembatan tua. Dan Dilla ingin ayah menjaga dan merawat bunda untuk selamanya. Hingga akhir hayat. Amiiinn....Ya Rabbal A’lamin.

Tetesan air mata berjatuhan. Isak tangis meluap. Sekarang....saat itu juga ayah Dilla pergi menjemput mantan istrinya itu sesuai kehendak Dilla. Dirumah kecil itu, ia melihat mantan istrinya duduk termenung. Ia pun mendekati dan perlahan mengatakan tentang kepergian Dilla. Mendengar berita itu, sang ibu langsung menangis. Ia tak dapat menerima semua itu. Namun, ia pun tidak bisa mengelak takdir ilahi. Sesuai keinginan Dilla, kedua orangtuanya pun bersatu kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar