Hari yang melelahkan dengan teriknya matahari dan sapuan
udara bercampur debu. Daun-daun berguguran lalu terbang tersapu angin. Terlihat
sosok gadis kecil duduk termenung dikursi taman pusat kota. Terdengar teriakan
seseorang dari arah belakang gading itu.
“Dilla......” teriakan itu membuat gadis kecil yang ternyata
bernama Dilla terkejut dan langsung membalikan badannya.
“Dilla......” teriak orang itu lagi. Setelah ia melihat
orang yang memanggilnya itu, mukanya tiba-tiba memerah dan sepertinya ada rasa
geram darinya.
“Dilla kamu kemana saja, nak? Ayah mencarimu dari tadi pagi.
Kenapa kamu tiba-tiba kabur?” tanya orang itu yang ternyata adalah ayah Dilla
sendiri. Dilla tetap diam. Wajahnya tetap murung dangan sedikit tatapan manis. Ayahnya
mencoba bicara lagi.
“ayolah nak, beritahu ayah. Kamu mau apa?” Sang ayah terus
membujuknya untuk bicara. Perlahan wajah Dilla kelihatan tenang. Dan dia pun
mulai berbicara.
“Ayah gak akan pernah tau apa yang kamu inginkan, karena
ayah gak pernah perhatiin aku. Ayah gak pernah mengerti dan sampai kapanpun
ayah gak akan bisa mewujudkannya.” Ucap Dilla. Ia mengatakan semua yang ada
dibenaknya. Perasaan yang dulu ia pendam. Adn perasaan itu sudah memuncak dan
tidak akan bisa dikendalikan lagi. Ayah mengerut dan tiba-tiba memarahi Dilla.
“apa sih yang kamu mau? Ayah sudah memberikan semua yang
kamu minta. Pakaian, handphone, laptop, accessories, dan barang-barang lainnya
yang ayah rasa tidak kamu gunakan. Sekarang kamu maunya apa? Ayah capek..capek..ngeladenin
kamu!” mendengar ucapan ayah, sakit hati Dilla menjadi semakin menjadi-jadi. Perlahan
air matanya keluar.
Tetes demi tetes menggambarkan kehidupannya yang kelam.
Tetes demi tetes menggambarkan kehidupannya yang kelam.
“kalau ayah emang tidak mau ngurusin aku, mending ayah buang
saja aku. Biar ayah gak capek dan bisa bersenang-senang dengan kehidupan yang ayah
yang gak jelas itu!” semua dia ungkapkan pada saat itu juga dan pergi
meninggalkan ayahnya.
“Dilla......” teriak sang ayah dan langsung mengejar Dilla.
Larian panjangnya tiba0tiba berhenti didepan rumah yang
tidak layak huni. Langkah kakinya bagaikan tersedot ke rumah itu. Ia mencoba
mengetuk rumah itu, namun tak ada seorangpun yang membukakan pintu untuknya. Akhirnya
dia mencoba membuka pintu itu. Pintunya tidak terkunci. Ketika ia melihat
kedalam rumah itu, betapa terkejutnya ia. Ia melihat wanita tak sadarkan diri
dari balik dinding rumah itu.
“Bunda...Bunda..!!” teriaknya dengan air mata yang terus
menetes.
“Bunda...Bangun bunda!!Bangun...” Dilla mencoba menyadarkan
wanita yang ternyata ibunya. Ibunya Dilla tidak sadarkan diri. Dilla putus asa.
Ingin rasanya ia membawa ibunya kerumah sakit. Tapi, ia tidak bisa membawa
ibunya sendirian. Dan walaupun ia lakukan itu, yang pasti ibunya akan marah
dengannya. Akhirnya, ia merawat ibunya dirumah itu, hingga ibunya sembuh.
Sudah dua hari Dilla tinggal dirumah itu. Karena ia tidak
merasa kesepian. Ada dua alasan yang mungkin terjadi dengan ayahnya hingga
ayahnya tidak bisa menjemputnya.Satu karena ayahnya tidak tau rumah itu, dan
yang kedua karena ayahnya sibuk dengan pekerjaannya.
Dirumah kecil itu, Dilla merasa ceria. Karena ia merasa
tidak kesepian. Dirumah itu, ia mempunya temang ngobrol, mencurahkan isi
hatinya, berbagi suka dan duka, tertawa bersama, dan hal lainnya. Ketimbang dirumah
besar yang sunyi,sepi,senyap,hanya bertemakan harta yang tidak berguna.
Ibu Dilla sudah sembuh. Dilla pun berpamitan dengan ibunya. Ia
takut ayahnya akan marah besar kalau ia tak kunjung pulang. Ia merasa tersiksa
dengan penceraian kedua orang tuanya yang berakibat buruk terhadap masa
depannya. Sesampainya dirumah, Dilla langsung masuk kekamarnya, dan
seperti biasa, ia mencurahkan isi
hatinya kedalam buku harian.
Malam harinya, ayah Dilla pun pulang. Ia langsung menuju
kamar Dilla apakah Dilla sudah pulang atau belum. Ketika pintu kamar Dilla
dibuka, Dilla pun spontan terkejut, ia langsung menyembunyikan buku hariannya.
“Dilla..kamu sudah pulang,nak. Kamu kemana saja kemarin? Kenapa
tidak bilang sama ayah?” ayahnya mencoba mengintrogasi Dilla.
“nginep dirumah teman ya.” Jawab Dilla singkat.
“kenapa kamu nginep dirumah teman? Emangnya kamu tidak punya
rumah?” tanya ayah pelan.
“Ayah! Aku kesepian dirumah ini. Aku tidak merasa bahagia
dengan semua harta yang ayah berikan. Aku hanya minta kasih sayang dan
perhatian dari kedua orangtuaku. Dan kalian selalu ada disampingku. Tapi ayah
tidak pernah mengerti apa maksudku!” bentak Dilla. Emosinya memuncak drastis.
“terus apa maumu?! Bagaimana ayah bisa tau, kalau kamu gak
ngasih tau ayah!!” bentak ayah dengan nada tinggi. Ucapan ayahnya membuat Dilla merasakan sakit yang
luar biasa. Sekarang bukan hanya hatinya yang sakit, tapi seluruh tubuhnya ikut
merasakan sakit. Dilla merintih kesakitan dan akhirnya pingsan. Melihat sang
anak pingsan, sang ayah langsung membawa Dilla kerumah sakit. Dan langsung
ditangani oleh dokter terhandal. Sesaat kemudian, dokter keluar dengan wajah
yang kelihatan pucat. Ayah Dilla pun menghampirinya.
“penyakitnya kambuh lagi.” Ucap dokter itu.
“penyakit??” tanya ayah Dilla heran.
“penyakit leukimianya sudah stadium empat!” lanjut dokter.
Seketika itupun ayah Dilla terkejut.
Penyakit leukimia? Stadium empat? Batinnya.
“maaf, dok. Setahu saya, anak saya tidak pernah mengidap
penyakit leukimia. Apalagi stadium empat. Saya tidak mengerti maksud anda!”
ucap ayah Dilla.
“bapak jangan bercanda. Dilla itu pasien saya. Sudah 2 tahun
ia saya tangani. Kok bapak tidak tau masalah ini?” jelas dokter dengan wajah
bingung.
Ayah Dilla tidak mengerti apa yang dikatakan dokter
tersebut.
Sudah 2 tahun? Tapi kenapa Dilla tidak mengatakannya? Batinnya
lagi.
“dok, boleh saya masuk kedalam? Saya ingin menjenguk anak
saya” pinta ayah Dilla sambil mengarahkan telunjuknya ke kamar tempat anak
semata wayangnya itu dirawat.
Didalam kamar itu, ia melihat seorang gadis kecil yang
mempertaruhkan nyawanya melawan sakit yang menderanya. Dimanakah sosok seorang
ayah yang ia punya? Mengapa ia tidak tau apa yang terjadi dengan anaknya? Apa batin
seorang anak dengan ayahnya tidak terkait? Dengan lamunannya, ia dibuyarkan
dengan suara kecil. Ya, suara Dilla.
“ayah...” ucapnya lemah.
“iya, nak.” Ucap ayahnya sambil meneteskan air mata.
“ayah aku mau sesuatu dari aya. Aku mau....” ucapan Dilla
semakin lemah. Denyut nadinya semakin cepat. Nafasnya terengah-engah. Dan, pada
saat itu, detik itu, Dilla menghembuskan nafas terakhirnya sebelum mengatakan
keinginannya. Tangisan langsung meluap dari kedua mata sang ayah. Sampai akhir
ayat anaknya, ia tidak pernah mengabulkan permintaan anaknya. Dan sekarang ia
tidak tau harus bagaimana. Ia tidak tau apa yang anaknya inginkan. Dan dia
tidak tau bagaimana mewujudkannya.
Dua hari setelah kepergian Dilla, sang ayah terus saya
berdiam dirumah. Ia sekarang sadar, harta yang paling berharga baginya bukanlah
uang tapi keluarga. Ia pun coba mengenal Dilla dengan mencoba masuk kekamar
Dilla. Ia membereskan kamar anaknya itu. Ketika ia sedang memberekam tempat
tidur, tak sengaja ia menemukan diary dibawah bantal. Ia pun kemudian membuka
diary itu dan membecanya.
Dear Diary.....
Aku tau apa yang sedang kualami. Semuanya berubah begitu
saja. Penceraian ayah dan bunda telah membuatku larut dalam kegelapan. Aku tidak
bisa melihat masa depanku nanti. Sekarang aku mencoba menahan penyakit
leukimiaku. Aku tidak ingin mereka mengetahuinya. Aku tidak ingin kedua
orangtauku saling menyalahkan. Cukup aku yang merasakan sakit ini.
Dear Diary......
Ya Allah....kenapa kau berikan cobaan ini kepadaku? Kenapa kau
berikan sakit kebundaku? Kenapa kau buat ayah melupakanku? Kenapa aku tidak
bisa menjadi orang yang lebih sabar lagi untuk menahan cobaan ini.
Ya Allah.... yang hambamu inginkan Cuma satu. Tolong satukan
keluarga kami. Tolong ayah satukan bunda agar ayah bisa menjaga bunda. Karena mungkin
hamba tidak bisa merawat bunda lagi. Karena mungkin kau akan memanggil hamba. Jadi,
mohon persatukan keluarga hamba.
Ayah.....yang Dilla minta selama ini adalah itu. Dilla minta
ayah menjemput bunda dirumah kecil dibawah jembatan tua. Dan Dilla ingin ayah
menjaga dan merawat bunda untuk selamanya. Hingga akhir hayat. Amiiinn....Ya
Rabbal A’lamin.
Tetesan air mata berjatuhan. Isak tangis meluap. Sekarang....saat
itu juga ayah Dilla pergi menjemput mantan istrinya itu sesuai kehendak Dilla. Dirumah
kecil itu, ia melihat mantan istrinya duduk termenung. Ia pun mendekati dan
perlahan mengatakan tentang kepergian Dilla. Mendengar berita itu, sang ibu
langsung menangis. Ia tak dapat menerima semua itu. Namun, ia pun tidak bisa
mengelak takdir ilahi. Sesuai keinginan Dilla, kedua orangtuanya pun bersatu
kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar